Mengulas Tentang ‘Kemaniakkan’ Seorang Pemancing

Ragam 3

Kabarmancing.com, Gombong, Jawa Tengah – Tidak ada ukuran tertentu untuk mengukur sejauh manakah seseorang tergila-gila akan sesuatu yang disukainya, termasuk kegilaan mancing. Informasi yang sering kita dapat berupa kisah-kisah empirik atau berdasarkan pengalaman yang bisa membuat kita kagum atau geleng-geleng kepala. Ya, kagum karena pengalaman itu sepertinya begitu “hebat” extraordinary, luar biasa dan “tidak umum” kata orang Gombong.

    Hebatnya lebih ke pengertian yang positif dengan geleng-geleng kepala cenderung dalam artian “Kok bisa ya sampai begitu!”. Tanpa mengurangi rasa hormat pada pelaku peristiwa mari kita membatasi diri dengan “hak azasi” seseorang di luar jangkaun intervensi kita.

    Kisah ini penulis awali dengan seorang pemancing yang tetap menjaga statusnya sebagai “jejaka” karena di usia mendekati kepala enam masih juga jomblo dan dikenal sebagai pemancing. Kawan kita ini suka mancing ke tengah laut di Pantai Logending Ayah, Kebumen, Jawa Tengah. Ceritanya, dengan menyewa perahu katir ditemani tukang perahu, ketika beliau berada di tengah yang relatif tidak jauh dari pantai, sekitar jam 10 pagi perahunya terbalik. Keduanya jatuh ke laut tanpa bisa membalikkan perahunya lagi meski telah berusaha keras.

Berita Terkait : Mancing, Etika & Aturan Main Seyogyanya Dipahami

    Yang bisa mereka lakukan hanyalah tetap bertahan berpegangan perahu selama enam jam. Semakin lama mereka semakin menjauh dari pantai, semakin ke tengah ke arah selatan karena terbawa arus. Dan akhirnya sampai pada jalur pelayaran kapal-kapal besar dari arah timur yang menuju ke Cilacap. Mereka kemudian diselamatkan oleh awak kapal. Bagi orang biasa kejadian traumatik ini tentunya akan menggoncangkan jiwa setelah sekian lama berada “di ujung tanduk” dan hanya keberuntungan sajalah yang menyelamatkan mereka. Dan hebatnya, pahlawan kita tadi seminggu kemudian pergi mancing lagi ke tengah laut !

    Lain lagi ceritanya Pak Parno, mantan Kepala SD Desa Waja Kebumen yang saat ini berusia 76 tahun, sejak kecil sudah mempunyai kegemaran mancing hingga saat ini. Kalau dihitung dia telah mancing selama 64 tahun. Dan ketika kita break sebentar untuk minum dan makan di warung Pantai Karang Bolong, seperti biasa kita ngobrol “ngalor ngidul”. Orangnya yang periang dan banyak ketawa ini jarang menceritakan dirinya tetapi kawan-kawan dekatnya justru yang menceritakan keistimewaannya.

    “Pak Parno ini seharusnya sudah masuk dalam Museum MURI dan memegang rekor mancing,” kata seorang temannya. Diceritakan bahwa dalam tahun 1989 dia hampir mancing sepanjang tahun, cuma 3 hari yang tidak karena Hari Raya Idul Fitri dan keluar kota. Saya sendiri percaya dengan cerita ini benar, kenapa ? karena dari warna kulitnya yang hitam disengat matahari saja sudah ketahuan.

Ragam 4

 

Ketiduran menanti sang suami    

    Lain halnya dengan seorang teman yang reputasinya di dunia mancing kemilau. Kegigihannya mancing bagi teman-teman lainnya dianggap terlalu berani. Betapa tidak beliau ini mengidap darah tinggi yang kalau lagi kambuh sampai 200 tensinya. Toh tetap mancing tanpa menghiraukan penyakitnya. Dengan menanyakan bagaimana kesehatannya kita hanya mencoba mengingatkan dengan cara yang lebih halus. Suatu kali kami merasa lega ketika menyaksikan kalau mancing selalu disertai isterinya. Tentunya akan lebih aman bila terjadi sesuatu.

    “Syukurlah ada yang mengawalnya,” kata penulis ketika melihat isterinya dengan sayang dan setia menemaninya. “Menemani apa!” sahut teman saya. ”Gara-gara SMS dari cewek, isterinya jadi tidak percaya dan mengawal untuk memastikan kalau benar-benar mancing!”

    Pak Petruk, sebut saja demikian namanya, seorang pemancing yang “santai” tidak buru-buru. Ini terbukti suka menghabiskan berhari-hari kalau lagi mancing. Menginap? So pastilah! Meskipun sebenarnya rumahnya tidak jauh tapi sudah menjadi kebiasaan dan ciri khasnya, sehingga teman-teman lainnya maklum saja. Terpetik berita sudah agak lama dia tidak kelihatan batang hidungnya. Tanya sana sini akhirnya ada berita kalau dia lagi “repot” karena menunggu kelahiran bayinya. Kabar gembira ini tentu saja disambut gembira oleh rekan-rekan seprofesinya.

    “Wah anaknya tambah lagi ya, syukurlah” komentar saya. “Ya anaknya tambah lagi tapi bukan dari isterinya!” jawab teman saya yang heran kok dia tahu aja! “He, emang dari siapa?” “ Ya, hasil mancing berhari-hari itu!” kata teman yang tahu aja tadi.  Saya jadi heran kok wanita bisa terlibat dimana saja ya atau sebenarnya bukan wanitanya tapi laki-lakinya yang kebangetan!

    Masih ada lagi cerita yang melibatkan wanita, tapi ini secara baik-baik. Seorang mania mancing menikah. Lho apa istimewanya pemancing menikah, bukankah seorang pemancing juga manusia biasa? Nanti dulu….denger dulu ceritanya. Kawan kita ini menikah dengan seorang gadis pujaannya pada hari Minggu siang.

    Perhelatan berjalan lancar dan tentunya akan dilanjutkan malam pertama nanti malam. Tapi rupanya malam itu merupakan malam kelabu pagi mempelai wanita, karena begitu usai perhelatan, basa-basi sebentar kawan kita ini langsung tancap gas menuju ke laut…mancing! Dan yang “hebat” tengah malam baru pulang dan tentunya sang mempelai wanita sudah bobo memeluk guling, ketiduran menanti kedatangan suami tersayang!

    Kisah-kisah diatas hanyalah sekedar kisah kemaniakkan yang terjadi di sekitar kita tanpa tendensi apapun. Kalau ada kita petik hikmahnya.(bambang sugeng-gombong/foto:dok.kabarmancing.com)

example banner example banner

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses